Sabtu, 05 Mei 2012

MAKALAH
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNATIONAL
BAB I
PENDAHULUAN

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:
1. Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak
2. Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.
3. Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
4. Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa.Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.
Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.
• Perkembangan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa secara damai secara formal lahir dari diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag (The Hague Peace Conference) tahun 1899 dan tahun 1907. Konferensi perdamaian ini menghasilkan:
“The Convention on the Pacific Settlement of International Disputes (1907)”
Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:
1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.
2. Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport.
Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :
a. Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK
YANG DAMAI
Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1. Prinsip itikad baik (good faith);
2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.
a) Negosiasi
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:
1. Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;
2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;
3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;
4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:
1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;
2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b) Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
c) Mediasi
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
d) Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.
Proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
e) Good Offices atau Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.







Bab III

Penyelesaian sengketa Pertamina – Karaha Bodas melalui arbitrase internasional
3.1 Uraian singkat kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang berbunyi : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, pada hal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono
3.2 Komentar atas kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Berbeda dengan kasus gula sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya dimana pengadilan Indonesia dengan percaya diri menyatakan bahwa terdapat pelanggaran terhadap causa yang halal dan ketertiban umum, dalam kasus ini hal ketertiban umum tersebut tidak disinggung-singgung. Pada hal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari wilayah hukum dan memasuki wilayah pertimbangan politik, ekonomi dan lain-lain.
Memang dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan apabila pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi sendi azasi hukum nasional, hakim dalam hal-hal pengecualian, dapat mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak tergelincir menjadi kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh Sudargo Gautama diistilahkan dengan chauvinisme yuridis . Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya meng adopt bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan kontekstual, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya .
Beberapa hal yang menjadi catatan Hikmahanto adalah :
a. Dasar Kewenangan Pengadilan di Indonesia
Hikmahanto membedakan antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase sebagai berikut : Terhadap putusan arbitsrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Putusan arbitrase yang dibatalkan, akan menafikan (seolah tidak pernah dibuat) putusan arbitrase tersebut. Dalam hal ini Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara, tetapi hanya terbatas pada memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan putusan arbitrase, seperti pemilihan para arbiter dan pemberlakuan hukum yang dipilih. Dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Sedangkan penolakan putusan arbitrase tidak berarti pengadilan menafikan putusan tersebut, melainkan tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di negara lain masih ada asset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut.
Menurut Hikmahanto, kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk mengadili kasus KBC di Indonesia, harus dipertanyakan. Dalam proses arbitrase paling tidak ada tiga jenis hukum yang berlaku, yaitu hukum material (substantive law), hukum acara yang mengikat (governing/ curial law) dan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa (lex arbitri). Dari ketiga jenis hukum tersebut tidak ada satu jenispun yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara dimaksud. Dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC), hukum yang digunakan adalah hukum Switzerland (Swiss).
b. Upaya hukum yang dilakukan Pertamina
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Hikmahanto berpendapat upaya hukum melalui pengadilan Swiss lah yang benar. Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk melakukan pembatalan Putusan arbitrase Jenewa berdasrkan dua lalasan. Pertaman, Pertamina dan KBC telah menentukan seat arbitrase dalam JOC di Jenewa, dan kedua putusan arbitrase Jenewa di buat di Swiss.
Sebagai pihak yang kalah perlu dipertanyakan mengapa justru Pertamina yang melakukan pendaftaran arbitrase Jenewa di Indonesia. Apabila dimaksudkan untuk melakukan pembatalan agar memenuhi asas pendaftaran sesujai pasal 71 UU 30 tahun 1999, dan alasan tersebut dapat diterima oleh majelis hakim, pendirian yang demikian tidak tepat. Kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase hanyalah yang terbatas pada putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia. Terhadap putusan arbitrase asing, kewenangan yang ada hanyalah terbatas dalam konteks pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan.
Belakangan, memang pendapat Hikmahanto tersebut di atas nampaknya sejalan dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Edward Baldwin et al mencatat, pada akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut di atas, dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas dasar bahwa pengadilan negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa perkara itu, dan juga tidak berwenang untuk memutuskan klaim KBC .
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Hal ini dalam konstruksi hukum dapat dianalogkan dengan adagium umum pada hukum perdata dimana seorang bawahan tidak dapat dipersalahkan dari akibat perbuatannya yang sekedar melaksanakan perintah yang menugaskannya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan hukum dalam Black Law yang menyatakan quicunque jussu judicis allquid fecerit non videtur dolo malo fecisse, qula parere necesse est .

HUKUM AGRARIA
 "PENGADAAN TANAH"

PENDAHULUAN
Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sekarang ini dituangkan dalam PeraturanPresiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi PelaksanaanPembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mencabut Keputusan Presiden Nomor 55Tahun 1993. Hal ini dikarenakan, Keppres No.55/1993 sudah tidak sesuai lagi sebagailandasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya. Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Namun demikian berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini dalam praktek pengadaan tanah bagi kepentingan umum hak dan kepentingan masyarakat pemilik tanah kurang mendapat perlindungan hukum dan belum ada pengertian serta sikap yang sama diantara pelaksanan termasuk badan pengadilan dalam melaksanakan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga timbul kesan seakan-akan hukum tidak atau kurang memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum. 
Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memeperhatikan peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan ditempuh dengan jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Apabila pengadaan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor20Tahun 1961. Hal ini terjadi pula dalam pengadaan tanah bagi pelebaran jalan raya Ngaliyan – Mijen yang dilaksanakan mulai tahun 1996 yang hingga saat ini belum selesai karena terganjal masalah pemberian ganti kerugian atas tanahnya. Tanah yang telah dibebaskan untuk rencana pelebaran jalan adalah panjang 8.8 kmdan lebar 30 m mulai dari pertigaan Jrakah sampai lapangan Kalimas.
Penentuan harga besarnya pemberian ganti kerugian telah dilakukan oleh Tim mulai tahun 1998 yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 593/571 Tahun 1998 dengan warga masyarakat pemilik tanah yang terkena pelebaran jalan dari Kelurahan Kedungpane, Pesantren, Wates, Bringin, Ngaliyan, Purwoyoso, dan Tambak Aji melalui pertemuan yang telah diadakan. Namun demikian sampai dengan saat ini proses pemberian ganti kerugiannya belum selesai, karena tidak semua pemilik tanah menerima ganti kerugian yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Semarang dan proses pembangunan fisik jalannya juga belum terlaksana secara tuntas.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana tahap pengandaan tanah untuk pelebaran jalan Ngaliyan-Mijen?
2. Bagaimana penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian untuk pelebaran jalan Nglayian-Mijen?
3. Apa hambatan dalam masalah pengandaan tanah untuk pelebaran jalan Ngaliyan-Mijen?


PEMBAHASAN

Tahap Pengandaan Tanah untuk Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen
Berdasarkan Perda Nomor 2/ 1985 tentang Rencana Induk Kota  Kodya Dati II Semarang, kawasan Kecamatan Mijen dan sekitarnya termasuk Kecamatan Mijen Dalam Angka tahun 2003Wilayah Pengembangan IV dan Bagian Wilayah Kota IX yang direncanakan sebagai salah satu Pusat Pertumbuhan. Selain itu di samping itu juga sebagai akses utama Jalan Nasional Jalur Pantura, maka Jalan Raya Ngaliyan – Mijen adalah merupakan jalan utama yang menghubungkan Wilayah Pengembangan IV dengan wilayah-wilayah pengembangan lainnya termasuk menuju PusatKota Semarang. Oleh sebab itu, maka Jalan Ngaliyan – Mijen sebagai satu-satunya akses penghubung Wilayah Pengembangan tersebut telah direncanakan dilebarkan menjadi 30 m. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan  pertumbuhan perekonomian di Wilayah Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Mijen. 
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kotamadya Semarang pada saat itu membentuk Tim. Tim tersebut dibentuk oleh  Pemerintah Kotamadya Semarang melalui Surat Keputusan Walikotamadya  Kepala Daerah Tingkat II Semarang tertanggal 2 Juni 1997 nomor 593/571,  yang susunan anggotanya terdiri dari : 
1. Walikotamadya, selaku Penanggung jawab; 
2. Sekretaris Kotamadya Daerah, selaku Ketua Tim; 
3. Kepala Sospol, selaku Wakil Ketua; 
4. Asisten I Sekretaris Kotamadya Daerah, selaku Anggota; 
5. Kepala Bagian Pemerintahan Kelurahan, selaku Anggota; 
6. Kepala Dinas Tata Kota (DTK), selaku Anggota; 
7. Kepala Dinas Tata Bangunan, selaku Anggota;
 8. Kepala Bagian Humas, selaku Anggota;  
9. Kepala Bagian Hukum, selaku Anggota; 
Sedangkan berdasarkan Keppres No.55/1993 yang berlaku saat itu,
bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, harus dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah. Akan tetapi
dalam studi kasus ini, menurut warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran
jalan raya Ngaliyan-Mijen menyatakan bahwa pada pengadaan tanah tersebut
tidak ada panitia pengadaan tanah, tetapi hanya dijumpai adanya tim yang
dibentuk oleh Walikota, dan warga tidak mengetahui secara pasti mengenai
tugas dan funsi dari tim tersebut. 
Selanjutnya pada tanggal 23, 30 dan 31 Juli 1997 serta dilanjutkan
tanggal 1 Agustus 1997 diadakan penyuluhan pemberian informasi dan
sambungrasa antara Pemerintah Kotamadya Semarang pada saat itu dengan
warga dari Kelurahan Kedungpane, Pesantren, Wates, Bringin, Ngaliyan dan
Purwoyoso serta Tambakaji yang memiliki tanah dan/atau bangunan
disepanjang Jalan Raya Ngaliyan – Mijen khususnya yang terkena proyek
tersebut. 
Berdasarkan hasil penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota
(RDTRK) maka lebar jalan direncanakan menjadi 40 m sebagaimana
diinformasikan pada penyuluhan Tahap I. Dari hasil pertemuan pada saat itu,
muncul saran dan aspirasi dari warga yang menghendaki bahwa lebar jalan
disesuaikan dengan produk-produk hukum yang dikeluarkan pemerintah berupa
Gambar Situasi (GS) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yaitu selebar 30 m. Oleh karena itu berdasarkan aspirasi warga tersebut, prinsip efektifitas dan
efisiensi serta kondisi yang ada, maka pengadaan tanah pada ruas jalan tersebut
dilaksanakan sekaligus dengan lebar 30 m, dengan perincian:  
1. Lebar jalan untuk jalan utama : 24 m 
2. Lebar taman : 4 m 
3. Lebar trotoar kanan kiri : 1 m 
4. Berm : ditiadakan 
5. Saluran air : 1 m

Proses Musyawarah
Masalah pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi kepentingan umum sering menghadapi berbagai kendala yang kompleks, apalagi bagi kota-kota besar yang padat penduduknya termasuk Kota Semarang yang lahannya sangat terbatas. Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum karena berbagai pertimbangan sering kali harus menggunakan tanah yang telah dihuni dan menjadi milik warga masyarakat, sehingga secara ekstrim kemudian timbul istilah “penggusuran”. Sehingga dalam menangani masalah ini
memerlukan kebijakan dan kearifan tersendiri, karena menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. 
Pelaksanaan pembangunan pelebaran Jalan Raya Ngaliyan – Mijen proses musyawarahnya dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu:
Tahap I :Kegiatan penyuluhan dan pemberian informasi serta sosialisasi  tentang pelaksanaan pangadaaan tanah untuk pelebaran jalan serta menetapkan lebarnya jalan yang akan dikepras. 
Tahap II : Pelaksanaan musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian yang dimulai pada tahun 1998. 
Proses musyawarah untuk menetapkan lebar jalan yang akan dikepras
Menurut Rencana Detail Tata Ruang Kota RDTRK, lebar jalan  direncanakan 40 meter dengan perincian: 
1. Lebar jalan untuk jalan utama : 28 m 
2. Sisi kanan-kiri jalan utama masing-masing : 4 m 
3. Lebar Taman : 4 m 
4. Lebar trotoar : 2 m
5. Berm : 1 m 
6. Saluran air : 1 m 
Rencana jalan yang dilebarkan dimulai dari pertigaan Jrakah sampai
Kalimas (Cangkiran) dengan panjang jalan 8.825 meter. Pembebasan tanahnya
telah mengepras 500 lebih kapling tanah milik warga di 7 kelurahan  disepanjang jalan raya tersebjumlah warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan sebanyak ± 313 KK dengan status tanah Hak Milik.
Pelaksanaan musyawarah diketuai langsung oleh Walikota Semarang
(pada waktu itu Sutrisno Suharto) dengan pimpinan proyeknya Ir. Priyambodo (dari DPU Kota) selaku pelaksana teknis. Dari pihak masyarakat (warga yang
tanahnya terkena proyek pelebaran jalan) diwakili oleh “KAWULA”, yaitu
suatu wadah yang dibentuk oleh masyarakat untuk menampung aspirasi
masyarakat/warga dan mengkoordinir warga untuk menjembatani komunikasi
dan negoisasi dengan pihak Pemerintah Kota (Pemkot). “KAWULA”
kependekan dari Kerukunan Warga Untuk Masalah Pelebaran Jalan yang
dipimpin oleh Mujiono. 
Pelaksanaan musyawarah mengenai penetapan lebar jalan selebar 40 m
ditolak oleh warga, karena warga hanya menginginkan lebar jalan selebar 20
– 30 m. Dengan rincian untuk daerah padat penduduk selebar 20 m dan untuk
daerah tidak padat penduduk selebar 30 m. Setelah dilakukan pertemuan
sebanyak 4 (empat) kali, dan terakhir tanggal 1 Agustus 1997 diputuskan bahwa
lebar badan jalan menjadi 30 m dengan perincian sebagai berikut: 
1. Lebar jalan untuk jalan utama : 24 m 
2. Lebar taman : 4 m 
3. Lebar trotoar kanan kiri : 1 m 
4. Berm : ditiadakan
Proses Musyawarah untuk Menetapkan Bentuk dan Besarnya Ganti Kerugian
Ganti kerugian untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 12 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993, diberikan untuk:
1. Hak atas tanah; 
2. Bangunan; 
3. Tanaman; 
4. Benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah 
Sedangkan bentuk ganti kerugian diatur dalam pasal 13 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993, berupa: 
1. Uang; 
2. Tanah pengganti; 
3. Pemukiman kembali; 
4. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, 2, dan 3
Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan Proses musyawarah untuk menetapkan ganti kerugian baru mendapat kesepakatan pada tahun 2000 antara Pemkot dengan warga yang diwakili oleh “KAWULA” setelah masuknya PT. Karya Deka Alam Lestari (pihak ketiga/investor) dengan menyuntikkan dana dan tanah pengganti.  Pada awalnya, tahun 1999 pihak Pemkot menetapkan biaya ganti kerugian sebesar Rp.15.000,-/m2 ditambah tali asih dari walikota Semarang sebesar Rp.5.000,-/m2, sehingga jumlah keseluruhan Rp.20.000,-/m2
Persoalan ini belum terselesaikan sampai kepemimpinan walikota diganti oleh
Sukawi Sutarip. Sumber pendanaan ganti kerugian berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBD) dan PT. Karya Deka Alam Lestari yang menyediakan tambahan dana 4,2 milyard dan tanah pengganti yang terletak di
Kelurahan Jatisari Kecamatan Mijen seluas 7,5 Ha
Penetapan Bentuk dan Besarnya Ganti Kerugian
Pelaksanaan pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan bagi kepentingan umum menggunakan landasan hukum Keppres 55/1993 yang sebelumnya menggunakan PMDN No.15/1975 dan terakhir telah disempurnakan dengan Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian direvisi dengan Perpres No. 65/2006 tentang Perubahan Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Untuk pembangunan pelebaran jalan Ngaliyan – Mijen pelaksanaannya menggunakan landasan hukum Keppres 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum melalui proses pembebasantanah yang dilakukan dengan jalan musyawarah. Apabila tidak terjadi kesepakatan antara pemerintah dengan pihak pemilik tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka menurut ketentuan lokasinya dipindahkan ketempat lain. Dalam pembebasan tanah yang perlu dipikirkan adalah pihak yang terkena pembebasan tanah, dalam hal ini
yang terkena pembebasan tanah diharapkan tidak mengalami kemunduran baik secara sosial
maupun ekonomi. Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No.55/1993 menentukan bahwa
“pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia
Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I”. 
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pembangunan pelebaran Jalan Ngaliyan
– Mijen dalam pengadaan tanahnya (pembebasan tanah) harus menggunakan
Panitia Pengadaan Tanah. Namun demikian pada kenyataannya pembebasan tanah tersebut tidak dilakukan oleh panitia yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dilaksanakan oleh Tim, yang hanya berdasarkan SK Walikotamadya Semarang pada saat itu dan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Semarang selaku pihak yang berwenang dibidang pertanahan.
Tim tersebut telah melakukan sosialisasi dengan warga mengenai pelebaran jalan tersebut, akan tetapi untuk seterusnya, mengenai keberadaan tim tersebut, dan tugasnya tidak diketahui oleh warga.
Berdasarkan hasil penelitiandari 100 responden yang terpilih, 60 orang (60%)
menjawab mereka sama sekali tidak pernah diajak musyawarah dan 40 orang
(40%) menjawab pernah diajak musyawarah untuk membicarakan nilai ganti
rugi.
Oleh karena penetapan ganti rugi cenderung sepihak, maka sejumlah warga
tidak mau datang lagi dalam pertemuan dengan tim berikutnya. Berdasarkan data hasil penelitian diketahui, bahwa ganti kerugian yang ditawarkan tidak berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), hanya sebesar Rp. 20.000,-/m2dibawah NJOP tanah pada saat itu sebesar Rp. 80.000,-/m2,sedangkan harga pasarannya mencapai Rp. 300.000,-/m2.
 Apabila dibandingkan dengan kondisi sekarang, maka ganti kerugian yang diberikan sangat jauh dibawah NJOP yaitu Rp. 500.000,-/m2, apalagi dengan harga pasaran yang mencapai Rp. 1.000.000,- sampai Rp. 3.500.000,-/m2
Ganti kerugian yang disepakati oleh Pemkot pada saat itu adalah Rp.20.000,-/m2 dengan rincian sebagai berikut:
Pemkot Semarang memberi nilai ganti kerugian Rp. 15.000,-/m2dan sebagian disuntikkan dana oleh pihak swasta, yaitu PT. Karya Deka Alam Lestari, yang diatasnamakan tali asih dari walikota sebesar Rp. 5000,-/m2, dan ditambah tanah pengganti yang berlokasi di Jatisari. Hal ini dilakukan karena jalan raya Ngaliyan – Mijen juga merupakan jalur yang menuju ke kawasan pengembangan perumahan Bukit Semarang Baru (BSB) yang dikelola PT. Karya Deka Alam Lestari selaku pihak pengembang dari kawasan tersebut. Jadi dalam hal ini pihak PT. Karya Deka Alam Lestari juga mempunyai kepentingan atas pelebaran jalan tersebut sebagai akses menuju kawasan perumahan yang dikembangkannya.
 Pemberian ganti kerugian tersebut hanya didasarkan pada Surat Perjanjian yang dibuat dibawah tangan antara pihak KAWULA dengan warga yang tanahnya terkena proyek tersebut, bahkan menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya pada saat penandatangan pengambilan uang ganti kerugian, besarnya ganti kerugian hanya ditulis dengan pensil sedangkan tulisan yang lain diketik dengan komputer. Hal tersebut mengindikasikan adanya kemungkinan penyimpangan besarnya pemberian ganti kerugian, antara nilai yang diberikan kepada warga dengan nilai sebenarnya sesuai dengan APBD Kotamadya Semarang pada saat itu.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan para pemilik tanah tidak mendapatkan ganti kerugian yang sama, tergantung “kedekatan”-nya dengan orang-orang yang dekat dengan Tim tersebut. Menurut Pasal 17 ayat (2) Keppres No.55/Tahun 1993 menyatakan bahwa dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh instansi pemerinatah yang memerlukan tanah. Keppres No.55/Tahun 1993 hanya berlaku bagi pengadaan tanah yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk kepentingan umum. Oleh karena itu konsinyasi hanya bisa diterapkan untuk pembayaran ganti kerugian untuk pengadaan tanah dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk kepentingan umum, dengan catatan memang telah ada kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membutuhkan tanah dan pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau benda-benda yang ada di atas tanah tersebut.
Hambatan dalam Masalah Pengandaan Tanah untuk Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen
1.    Hambatan yang datang dari Pemerintah, 
a. Kekurangan dana: 
• Berdasarkan hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya. 
• Terbatasnya dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Semarang dengan melalui APBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan nilai ganti kerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu.
b. Ganti rugi tanahnya belum selesai: 
• Warga yang belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian tanah sebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan, dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan.
2. Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya. Menurut warga mereka merasa dibohongi oleh pihak KAWULA yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar 1:3, dalam kenyataannya janji tersebut tidak ditepati. Dari kedua hambatan tersebut, diketahui bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan raya Ngaliyan – Mijen adalah mengenai besarnya nilai ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah.
Sehingga ada beberapa warga, khususnya di Kelurahan Ngaliyan belum mengambil uang ganti kerugian ditambah tanah pengganti yang dititipkan di KAWULA. Pihak Pemkot mengatakan bahwa pelaksanaan pembebasan tanahnya sudah selesai karena ganti rugi sudah dibayarkan dengan dititipkan pada KAWULA. Tetapi dalam kenyataannya masih ada warga yang belum mau mengambil uang ganti rugi tersebut, sehingga pada saat pelaksanaan pembebasan tanah mereka terhalang oleh pihak/warga yang tidak mengambil uang ganti rugi.
Pada dasarnya warga bersedia tanahnya diambil untuk pelebaran jalan, karena warga juga akan merasakan dampak positifnya terhadap usaha dan kegiatan mereka sehari-hari, khususnya di bidang ekonomi, karena dengan adanya jalan yang luas, maka usaha mereka akan semakin maju, dengan demikian dapat meningkatkan tingkat perekonomian. Akan tetapi warga menginginkan besarnya ganti rugi sesuai dengan harga pasar pada umumnya, minimal seharga NJOP sesuai dengan Keppres No.55 Tahun 1993. Karena dalam kenyataannya besarnya ganti rugi ditetapkan sepihak oleh tim.

KESIMPULAN
1. Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen Semarang, yaitu: 
a) Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Ngaliyan – Mijen Semarang, Pemkot pada saat itu membentuk Tim melalui Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang tertanggal 2 Juni 1997 nomor 593/571. 
a. Pelaksanaan pembangunan pelebaran Jalan Raya Ngaliyan – Mijen proses musyawarahnya dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu kegiatan untuk pelebaran jalan serta menetapkan lebarnya jalan yang akan dikepras, dan pelaksanaan musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian yang dimulai pada tahun 1998. 
c) Rencana jalan yang dilebarkan dimulai dari pertigaan Jrakah sampai Kalimas (Cangkiran) dengan panjang jalan 8.825 meter. Pembebasan tanahnya telah mengepras 500 lebih kapling tanah milik warga di 7 kelurahan disepanjangjalan raya tersebut, dan jumlah warga yang tanahnya terkena proyekpelebaran jalan sebanyak ± 313 KK dengan status tanah Hak Milik. 
d) Pelaksanaan pelebaran jalan disetujui selebar 30 m, dengan perincian lebar jalan untuk jalan utama 24 m, lebar taman 4 m, lebar trotoar kanan kiri 1 m, berm ditiadakan, dan saluran air 1 m. 
a. Proses musyawarah untuk menetapkan ganti kerugian baru mendapat kesepakatan pada tahun 2000, setelah masuknya PT. Karya Deka Alam Lestari (pihak ketiga/investor). 
b. Pemberian ganti kerugian terhadap pelebaran jalan tersebut hanya didasarkan pada Surat Perjanjian yang dibuat dibawah tangan antara pihak tim dengan warga yang tanahnya terkena proyek tersebut, dan besarnya ganti kerugian tidak berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). 
i. Hambatan-hambatan yang timbul dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Di Ngaliyan – Mijen Semarang dan Upaya Penyelesaiannya.



a) Hambatan yang datang dari Pemerintah, 
(i). Kekurangan dana: 
• Berdasarkan hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya.
• Terbatasnya dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Semarang dengan melaluiAPBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan nilai gantikerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu. 
(ii). Ganti rugi tanahnya belum selesai: 
• Warga yang belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian tanahsebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan, dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan. 
b) Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak, disamping itu warga merasa dibohongi oleh pihak KAWULA yang menyepakati besarnyatanah pengganti sebesar 1:3, dalam kenyataannyajanji tersebut tidak ditepati.Melihat kondisi yang demikian, Pemkot lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.



SARAN
1. Hendaknya dalam proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menggunakan dasar peraturan perundangan yang berlaku.
2. Pembentukan Panitia/Tim pengadaan tanah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. 
3. Pemberian ganti kerugian baik berupa uang maupun tanah setidaknya harus sesuai NJOP dan pelaksanaannya harus adil.
4. Dalam proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan warga yang terkena pembangunan tersebut.

”Revolusi Hukum di Indonesia”

A.PENDAHULUAN
    Akhir-akhir  ini di Indonesia  banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran hukum. Kasus yang sering ditangani oleh para penegak hukum adalah kasus penyuapan dan tindak  pidana korupsi. Tetapi keadilan yang seharusya ditegakan oleh para aparat penegak hukum kita, tetapi banyak terjadi banyak penyimpangan. Penyimpangan terjadi mengakibatkan buruknya moral penegak hukum. Moral para penegak hukum bercitra buruk diakibatkan banyaknya penyimpangan tadi. Hal ini mengakibatkan lunturnya sikap profesionalitas para aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan perlu adanya revolusi aparat penegak hukum di Indonesia. Revolusi ini dapat menjadi pencerahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
    Oleh sebab itu dengan adanya keadaan penegak hukum di Indonesia yang seperti itu penulis mengambil judul,”Revolusi Hukum di Indonesia”. Dengan judul ini, penulis ingin menggambarkan bagaimana keadaan penegakan hukum di Indonesia. Dengan rumusan masalah sebagai berikut, apakah faktor yang mendorong terjadinya revolusi hukum di Indonesia? Bagaimana cara revolusi hukum tersebut? Dengan rumusan masalah yang ada diatas banyak kasus yang dapat dijadikan contoh. Contoh tersebut antara lain kasus mafia pajak yang melibatkan banyak para penegak hukum dari kepolisian sampai hakim serta pejabat-pejabat Negara yang terlibat.
    Penulis tidak hanya menganalisis tetapi juga ingin memberikan gagasan agar revolusi para penegakan hukum di Indonesia dapat dilaksanakan. Dengan pelaksanaan revolusi ini tidak semata-mata merubah siapa jendral polisinya, siapa jaksa dan hakimnya. Revollusi ini lebih kepada sitem penegakan hukum yang berada di Indonesia. Sehingga perubahan tidak hanya para penegaknya tetapi ada sesuatu yang baru yang dapat digunakujuan untuk membangun hukum di Indonesia.

Penulisan ini bertujuan untuk merubah apa yang telah ada yang saat ini dianggap tidak menyelesaikan kasus atau permasalahan hukum yang ada di Indonesia.

B.TELAAH PUSTAKA
    Untuk mendukung penulisan ini penulis menuliskan beberapa teori dan pendapat para ahli dan bebrapa referensi yang mendukung dalam analisis nanti. Antara lain sebagai berikut,
Difinisi Revolusi
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.
Difinisi hukum dari para ahli,
Menurut Prof.Dr.Adi Sulistyono, SH.MH
Hukum adalah peraturan tertulis yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan diundangkan dan ditegakan oeleh instiutsi berwenag yang dijadikan pedoman atau pemandu dalam menjalankan kewajiban atau hak untuk mencapai tujuan tertentu dan digunakan untuk menegakan hak atau menjatuhkan sanksi.
E.M Mayers
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman sebagai pengusa-penguasa dalam melakukan tugasnya.
Immanuel Kant
Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehandak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
S.M Amin SH.MH
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atas norma dan snksi-sanksi serta bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpalihara.
M.H Tirto Atmidjaya SH
Hukum adalah semua peraturan (Norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaanya, didenda dan sebagainya.

C.METODE PENULISAN
    Dalam penulisan ini penulis memilih metode penulisan studi pustaka, yaitu mengumpulkan data dari  internet, buku, atau jurnalhukum.


D.ANALISIS DAN SINTESIS
    Dalam analisis ini penulis ingin memberikan gambaran mengenai mengapa perlu adanya revolusi didalam aparat pemnegak hokum di Indonesia. Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa sebuah revolusi dalam bidang apapun harus secara cepat sehingga mempengaruhi pola tatanan dalam masyarakat. Revolusi dalam aparat hukum di Indonesia berdampak pada system penegakan hukumnya. Penagakan hukum yang sehat dapat terjadi apabila para aparat penegak hukumnya sangat menjujung tinggi sikap moral dan professional. Perubahan itu harus dilakukan secara menyeluruh, dengan maksud untuk memberikan warna atau pola system penegakan hukum yang baru.
    Hukum yang pengertiannya menurut E.M Mayers adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman sebagai pengusa-penguasa dalam melakukan tugasnya.
    Pengertian hukum diatas menunjukan bahwa seharusnya hukum menjadi an kontrol dalam masyarakat sehingga dapat menjadi pedoman bagi keberlangsungan penegak hukum itu sendiri. Dari pengertia diatas juga dapat dijabarkan bahwa hukum itu sendiri menjadi pedoman bagi para penguasa untuk melakukan tugasnya. Jadi seharusnya hukum yang menjadi pedoman untuk mereka tetapi hukum di permainkan oleh mereka.
    Penulis mencoba mengangkat sebuah kasus yaitu kasus Gayus Tambunan dari kronologi kasus Gayus dari kejaksaan yang menunjukan permainan para aparat penegak hukum di Indonesia. Kutipanya seperti ini, imigrasi Belum Endus Posisi Gayus, Gayus Tambunan hengkang ke Singapura pada Rabu 24 Maret. Namun posisi pastinya saat ini belum terendus. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengatakan kasus markus pajak dengan aktor utama Gayus Tambunan melibatkan sindikasi oknum polisi, jaksa, dan hakim. Satgas menjamin oknum-oknum tersebut akan ditindak tegas oleh masing-masing institusinya, koordinasi perkembangan ketiga lembaga tersebut terus dilakukan bersama Satgas. Ketiga lembaga tersebut sudah berjanji akan melakukan proses internal.Kasus ini merupakan sindikasi (jaringan) antar berbagai lembaga terkait.
Penulis menggambarkan kasus diatas karena kasus diatas sangat berpengaruh pada hidupnya penegakan hukum di Indonesia. Dapat dilihat dalam perkara diatas banyak sekali aparat hukum yang seharusnya menegakan hukum tersebut tetapi menjadi oknum dalam penyimpangan hukum tersebut.
    Dalam kasus ini banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi untuk menembus barikade hukum yang ada di Indonesia dengan berbagai cara baik suap atau yang sejenisnya.
    Dimana dalam hal ini hukum yang seharusnya menegakan sesuatu yang salah tetapi menjadi obyek untuk para oknum yang besinggungan dalam kasus ini untuk mencari keuntungan pribadi. Tindakan yang demikian tentunya sangat menjadi cermin buruknya penegakan hukum di Indonesia.
    Buruknya penegakan hukum di Indonesia dipengaruhi banyak faktor, menurt saya hukum di Indonesia pada dasarnya memiliki tujuan yang baik yaitu mencapai ketertiban masyarakat. Tetapi pada kenyataan sistem hukum di Indonesia boleh dikatakan bobrok karena para oknum penegakan hukum yang memiliki mental yang tidak bermoral dan profesional. Seingga dapt ditemui jendral polisi, hakim dan jaksa terjerat kasu penyuapan. Hal ini terjadi karena mereka tidak menggunakan hati nurani mereka dalam setiap pengambilan keputusan.
    Dengan adanya keadaan yang seperti itu memuat diperlukan adanya revolusi hukum yang sangat diperlukan untuk membangun kembali sistem hukum yang baik. Revolusi ini sangat perlu agar dapat merubah sistem hukum tersebut agar menjadi sistem hukum yang kuat dan bersih. Sistem hukum yang demikian dapat dibentuk dengan cara membentuk dan menyusun aparat hukum secara independen. Pembentukan seperti ini sangat berpengaruh dalam menjalankan tugasnya nanti, karena tidak ada intervensi dari pihak manapun. Sehingga sistemnya lebih bersih dalam menjalankan sistem hukum di Indonesia.
    Adanya revolusi ini harus juga didukung dengan kepercayaan masyarakat akan kemampuan para penegak hukumnya. Dalam artian bahwa masyarakat harus percaya apa yang dilakuakan dengan oleh para penegak hukumnya adalah benar. Dalam hal ini sejatinya sangat dibutuhkan keseimbangan antara masyarakat dengan pemerintah khususnya para aparat hukum. Masyarakat harus percaya dan aparat harus lugas, nyata, dan terbuka.
    Dalam sintesis ini penulis ingin memberikan  saran sesuai dengan gagasan penulis. Yaitu revolusi hukum harus dilakukan dengan cara mepensiunkan dini seluaruh aparat yang diduga terlibat dalam kasus tindak pidana apapun. Hal ini mencerninkan bahwa sebuah revolusi harus dialakuakan secara menyeluruh sehingga perubahan sistem dapat terwujud.
    Lalu nasib para petinggi aparat hukum tersebut bagaimana? Dengan adanya pensiun dini secara finansial mereka akan terbantu dan terjamain sehingga tidak melanggar hak mereka untuk mendapatkan hak penghidupan dari negara.
    Setelah itu bentuk tim independen dalam penyusunan organ penegakan hukum. Jadi para penegak hukum yang terbentuk benar-benar murni dan netral. Sehingga dalam pengambilan keputusan dalam perkara yang akan datang benar-benar netral dan tidak akan ada intervensi dari pihak manapun.
    Gagasan penulis ada mengenai adanya deteftif swasta seperti di Amerika seriakat sehingga pada saat intelejan negara tidak mampu menyelidiki dan menyelesaikan suatu perkara, organ ini bisa dipakai utuk memberikan referensi atau soludi atau pengunkapan bukti baru yang mungkin sangat membantu dalam sidang suatau perkara.

E.KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
    Dari penulisan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa penegakan hukum di Indonesia yang buruk perlu adanya revolusi yang dapat memberikan perubahan pada sistem  hukum yang sekarang banya dihuni oleh oknum yang mementingkan kepentingan pribadi.
    Permasalahan yang timbul akibat buruknya penegakan hukum diakibatkan kaerena tidak adanya idependensi dari para penegak hukum. Sehingga penegakan hukum sering ditunggangi berbagai kepentingan mulai kepentingan pribadi hingga politik.
SARAN
    Revolusi hukum harus dilakukan dengan cara mepensiunkan dini seluaruh aparat yang diduga terlibat dalam kasus tindak pidana apapun. Hal ini mencerninkan bahwa sebuah revolusi harus dialakuakan secara menyeluruh sehingga perubahan sistem dapat terwujud.
    Lalu nasib para petinggi aparat hukum tersebut bagaimana? Dengan adanya pensiun dini secara finansial mereka akan terbantu dan terjamain sehingga tidak melanggar hak mereka untuk mendapatkan hak penghidupan dari negara.
    Setelah itu bentuk tim independen dalam penyusunan organ penegakan hukum. Jadi para penegak hukum yang terbentuk benar-benar murni dan netral. Sehingga dalam pengambilan keputusan dalam perkara yang akan datang benar-benar netral dan tidak akan ada intervensi dari pihak manapun.
    Gagasan penulis ada mengenai adanya deteftif swasta seperti di Amerika seriakat sehingga pada saat intelejan negara tidak mampu menyelidiki dan menyelesaikan suatu perkara, organ ini bisa dipakai utuk memberikan referensi atau solusi atau pengunkapan bukti baru yang mungkin sangat membantu dalam sidang suatu perkara.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.solusihukum.com [25 Februari 2011]
http://www.sobatbaru.blogspot.com [26 Februari 2011]
http://www.pengertian-hukum.html [26 Februari 2011]
http://www.kompas.com [28 Februari 2011]
http://www.okezone.com [28 Februari 2011]
http://www.wikipedia.com [ 28 Februari 2011]




      








Jumat, 04 Mei 2012

PERKEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM OTONOMI DAERAH

A.    LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini banyak kita jumpai masalah mengenai lingkungan hidup. Masalah  tersebut menjadi masalah yang harus ditanggulangi oleh semua pihak baik pemerintah ataupun swasta dan masyarakat. Masalah lingkungan ini sangat mempunyai korelasi yang sangat erat dengan pembangunan yang berlangsung saat ini. Pembangunan yang berkelanjutan apabila tidak diimbangi dengan perarturan mengenai leingkungan hidup yang jelas maka lingkungan hidup ini akan  sangat terancam keadaanya.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat. Ada kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.
Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah.

B.RUMUSAN MASALAH
    1. Bagaimana pembangunan nasional dan pembanguna bekelanjutan?
    2. Bagaimana kebijakan lingkungan hidup dalam Otonomi daerah?
    3. Bagaimana keaadan lingkungan hidup di daerah?

C.PEMBAHASAN
    Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945. Dalam melaksanakan pembangunan nasional perlu memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan secara seimbang, hal ini sesuai dengan hasil Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
    Bagi Indonesia mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional. Namun demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan, di lain pihak keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan dan begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu.
    Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
    Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal sertapenataan ruang. Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development - WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan memperkuat satu sama lain. Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Konsep ini mengandung dua unsur :
•    Yang pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan
masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua negara.
•    Yang kedua adalah keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus
memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.
Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat berperannya bangsa Indonesia dalam melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, visi pembangunan yang kita anut adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu fungsi lingkungan hidup perlu terlestarikan.
Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Dalam penerapan prinsip Pembangunan Berkelanjutan tersebut pada Pembangunan Nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk memadukan tiga pilar pembangunan secara proposional. Sejalan dengan itu telah diupayakan penyusunan Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan melalui serangkaian pertemuan yang diikuti oleh berbagai pihak. Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup.
    Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
•    Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
•    Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
•    Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
•    Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1.    Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2.    Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
3.    Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4.    Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5.    Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
    Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional ang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan.
    Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
•    Regulasi Perda tentang Lingkungan.
•    Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
•    Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
•    Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
•    Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
•    Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
•    Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
•    Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya.Undang-undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur.
    Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut.
•    Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
•    Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
•    Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
•    Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
•    Lemahnya implementasi paraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
•    Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.
•    Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
•    Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
D. KESIMPULAN
    Begitu banyaknya masalah yang terkait dengnan lingkungan hidup yang berkaitan dengan pembangunan. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup tekait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.

E.SARAN
    Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

F.DAFTAR PUSTAKA
1.    Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.
2.    Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
3.    Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemda Propinsi DI Yogyakarta.
4.    Sumarwoto, O (ed). 2003. Menuju Jogya Propinsi Ramah Lingkungan Hidup, Agenda 21 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.