Sabtu, 05 Mei 2012

HUKUM AGRARIA
 "PENGADAAN TANAH"

PENDAHULUAN
Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sekarang ini dituangkan dalam PeraturanPresiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi PelaksanaanPembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mencabut Keputusan Presiden Nomor 55Tahun 1993. Hal ini dikarenakan, Keppres No.55/1993 sudah tidak sesuai lagi sebagailandasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya. Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Namun demikian berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini dalam praktek pengadaan tanah bagi kepentingan umum hak dan kepentingan masyarakat pemilik tanah kurang mendapat perlindungan hukum dan belum ada pengertian serta sikap yang sama diantara pelaksanan termasuk badan pengadilan dalam melaksanakan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga timbul kesan seakan-akan hukum tidak atau kurang memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum. 
Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memeperhatikan peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan ditempuh dengan jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Apabila pengadaan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor20Tahun 1961. Hal ini terjadi pula dalam pengadaan tanah bagi pelebaran jalan raya Ngaliyan – Mijen yang dilaksanakan mulai tahun 1996 yang hingga saat ini belum selesai karena terganjal masalah pemberian ganti kerugian atas tanahnya. Tanah yang telah dibebaskan untuk rencana pelebaran jalan adalah panjang 8.8 kmdan lebar 30 m mulai dari pertigaan Jrakah sampai lapangan Kalimas.
Penentuan harga besarnya pemberian ganti kerugian telah dilakukan oleh Tim mulai tahun 1998 yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 593/571 Tahun 1998 dengan warga masyarakat pemilik tanah yang terkena pelebaran jalan dari Kelurahan Kedungpane, Pesantren, Wates, Bringin, Ngaliyan, Purwoyoso, dan Tambak Aji melalui pertemuan yang telah diadakan. Namun demikian sampai dengan saat ini proses pemberian ganti kerugiannya belum selesai, karena tidak semua pemilik tanah menerima ganti kerugian yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Semarang dan proses pembangunan fisik jalannya juga belum terlaksana secara tuntas.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana tahap pengandaan tanah untuk pelebaran jalan Ngaliyan-Mijen?
2. Bagaimana penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian untuk pelebaran jalan Nglayian-Mijen?
3. Apa hambatan dalam masalah pengandaan tanah untuk pelebaran jalan Ngaliyan-Mijen?


PEMBAHASAN

Tahap Pengandaan Tanah untuk Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen
Berdasarkan Perda Nomor 2/ 1985 tentang Rencana Induk Kota  Kodya Dati II Semarang, kawasan Kecamatan Mijen dan sekitarnya termasuk Kecamatan Mijen Dalam Angka tahun 2003Wilayah Pengembangan IV dan Bagian Wilayah Kota IX yang direncanakan sebagai salah satu Pusat Pertumbuhan. Selain itu di samping itu juga sebagai akses utama Jalan Nasional Jalur Pantura, maka Jalan Raya Ngaliyan – Mijen adalah merupakan jalan utama yang menghubungkan Wilayah Pengembangan IV dengan wilayah-wilayah pengembangan lainnya termasuk menuju PusatKota Semarang. Oleh sebab itu, maka Jalan Ngaliyan – Mijen sebagai satu-satunya akses penghubung Wilayah Pengembangan tersebut telah direncanakan dilebarkan menjadi 30 m. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan  pertumbuhan perekonomian di Wilayah Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Mijen. 
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kotamadya Semarang pada saat itu membentuk Tim. Tim tersebut dibentuk oleh  Pemerintah Kotamadya Semarang melalui Surat Keputusan Walikotamadya  Kepala Daerah Tingkat II Semarang tertanggal 2 Juni 1997 nomor 593/571,  yang susunan anggotanya terdiri dari : 
1. Walikotamadya, selaku Penanggung jawab; 
2. Sekretaris Kotamadya Daerah, selaku Ketua Tim; 
3. Kepala Sospol, selaku Wakil Ketua; 
4. Asisten I Sekretaris Kotamadya Daerah, selaku Anggota; 
5. Kepala Bagian Pemerintahan Kelurahan, selaku Anggota; 
6. Kepala Dinas Tata Kota (DTK), selaku Anggota; 
7. Kepala Dinas Tata Bangunan, selaku Anggota;
 8. Kepala Bagian Humas, selaku Anggota;  
9. Kepala Bagian Hukum, selaku Anggota; 
Sedangkan berdasarkan Keppres No.55/1993 yang berlaku saat itu,
bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, harus dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah. Akan tetapi
dalam studi kasus ini, menurut warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran
jalan raya Ngaliyan-Mijen menyatakan bahwa pada pengadaan tanah tersebut
tidak ada panitia pengadaan tanah, tetapi hanya dijumpai adanya tim yang
dibentuk oleh Walikota, dan warga tidak mengetahui secara pasti mengenai
tugas dan funsi dari tim tersebut. 
Selanjutnya pada tanggal 23, 30 dan 31 Juli 1997 serta dilanjutkan
tanggal 1 Agustus 1997 diadakan penyuluhan pemberian informasi dan
sambungrasa antara Pemerintah Kotamadya Semarang pada saat itu dengan
warga dari Kelurahan Kedungpane, Pesantren, Wates, Bringin, Ngaliyan dan
Purwoyoso serta Tambakaji yang memiliki tanah dan/atau bangunan
disepanjang Jalan Raya Ngaliyan – Mijen khususnya yang terkena proyek
tersebut. 
Berdasarkan hasil penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota
(RDTRK) maka lebar jalan direncanakan menjadi 40 m sebagaimana
diinformasikan pada penyuluhan Tahap I. Dari hasil pertemuan pada saat itu,
muncul saran dan aspirasi dari warga yang menghendaki bahwa lebar jalan
disesuaikan dengan produk-produk hukum yang dikeluarkan pemerintah berupa
Gambar Situasi (GS) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yaitu selebar 30 m. Oleh karena itu berdasarkan aspirasi warga tersebut, prinsip efektifitas dan
efisiensi serta kondisi yang ada, maka pengadaan tanah pada ruas jalan tersebut
dilaksanakan sekaligus dengan lebar 30 m, dengan perincian:  
1. Lebar jalan untuk jalan utama : 24 m 
2. Lebar taman : 4 m 
3. Lebar trotoar kanan kiri : 1 m 
4. Berm : ditiadakan 
5. Saluran air : 1 m

Proses Musyawarah
Masalah pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi kepentingan umum sering menghadapi berbagai kendala yang kompleks, apalagi bagi kota-kota besar yang padat penduduknya termasuk Kota Semarang yang lahannya sangat terbatas. Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum karena berbagai pertimbangan sering kali harus menggunakan tanah yang telah dihuni dan menjadi milik warga masyarakat, sehingga secara ekstrim kemudian timbul istilah “penggusuran”. Sehingga dalam menangani masalah ini
memerlukan kebijakan dan kearifan tersendiri, karena menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. 
Pelaksanaan pembangunan pelebaran Jalan Raya Ngaliyan – Mijen proses musyawarahnya dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu:
Tahap I :Kegiatan penyuluhan dan pemberian informasi serta sosialisasi  tentang pelaksanaan pangadaaan tanah untuk pelebaran jalan serta menetapkan lebarnya jalan yang akan dikepras. 
Tahap II : Pelaksanaan musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian yang dimulai pada tahun 1998. 
Proses musyawarah untuk menetapkan lebar jalan yang akan dikepras
Menurut Rencana Detail Tata Ruang Kota RDTRK, lebar jalan  direncanakan 40 meter dengan perincian: 
1. Lebar jalan untuk jalan utama : 28 m 
2. Sisi kanan-kiri jalan utama masing-masing : 4 m 
3. Lebar Taman : 4 m 
4. Lebar trotoar : 2 m
5. Berm : 1 m 
6. Saluran air : 1 m 
Rencana jalan yang dilebarkan dimulai dari pertigaan Jrakah sampai
Kalimas (Cangkiran) dengan panjang jalan 8.825 meter. Pembebasan tanahnya
telah mengepras 500 lebih kapling tanah milik warga di 7 kelurahan  disepanjang jalan raya tersebjumlah warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan sebanyak ± 313 KK dengan status tanah Hak Milik.
Pelaksanaan musyawarah diketuai langsung oleh Walikota Semarang
(pada waktu itu Sutrisno Suharto) dengan pimpinan proyeknya Ir. Priyambodo (dari DPU Kota) selaku pelaksana teknis. Dari pihak masyarakat (warga yang
tanahnya terkena proyek pelebaran jalan) diwakili oleh “KAWULA”, yaitu
suatu wadah yang dibentuk oleh masyarakat untuk menampung aspirasi
masyarakat/warga dan mengkoordinir warga untuk menjembatani komunikasi
dan negoisasi dengan pihak Pemerintah Kota (Pemkot). “KAWULA”
kependekan dari Kerukunan Warga Untuk Masalah Pelebaran Jalan yang
dipimpin oleh Mujiono. 
Pelaksanaan musyawarah mengenai penetapan lebar jalan selebar 40 m
ditolak oleh warga, karena warga hanya menginginkan lebar jalan selebar 20
– 30 m. Dengan rincian untuk daerah padat penduduk selebar 20 m dan untuk
daerah tidak padat penduduk selebar 30 m. Setelah dilakukan pertemuan
sebanyak 4 (empat) kali, dan terakhir tanggal 1 Agustus 1997 diputuskan bahwa
lebar badan jalan menjadi 30 m dengan perincian sebagai berikut: 
1. Lebar jalan untuk jalan utama : 24 m 
2. Lebar taman : 4 m 
3. Lebar trotoar kanan kiri : 1 m 
4. Berm : ditiadakan
Proses Musyawarah untuk Menetapkan Bentuk dan Besarnya Ganti Kerugian
Ganti kerugian untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 12 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993, diberikan untuk:
1. Hak atas tanah; 
2. Bangunan; 
3. Tanaman; 
4. Benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah 
Sedangkan bentuk ganti kerugian diatur dalam pasal 13 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993, berupa: 
1. Uang; 
2. Tanah pengganti; 
3. Pemukiman kembali; 
4. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, 2, dan 3
Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan Proses musyawarah untuk menetapkan ganti kerugian baru mendapat kesepakatan pada tahun 2000 antara Pemkot dengan warga yang diwakili oleh “KAWULA” setelah masuknya PT. Karya Deka Alam Lestari (pihak ketiga/investor) dengan menyuntikkan dana dan tanah pengganti.  Pada awalnya, tahun 1999 pihak Pemkot menetapkan biaya ganti kerugian sebesar Rp.15.000,-/m2 ditambah tali asih dari walikota Semarang sebesar Rp.5.000,-/m2, sehingga jumlah keseluruhan Rp.20.000,-/m2
Persoalan ini belum terselesaikan sampai kepemimpinan walikota diganti oleh
Sukawi Sutarip. Sumber pendanaan ganti kerugian berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBD) dan PT. Karya Deka Alam Lestari yang menyediakan tambahan dana 4,2 milyard dan tanah pengganti yang terletak di
Kelurahan Jatisari Kecamatan Mijen seluas 7,5 Ha
Penetapan Bentuk dan Besarnya Ganti Kerugian
Pelaksanaan pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan bagi kepentingan umum menggunakan landasan hukum Keppres 55/1993 yang sebelumnya menggunakan PMDN No.15/1975 dan terakhir telah disempurnakan dengan Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian direvisi dengan Perpres No. 65/2006 tentang Perubahan Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Untuk pembangunan pelebaran jalan Ngaliyan – Mijen pelaksanaannya menggunakan landasan hukum Keppres 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum melalui proses pembebasantanah yang dilakukan dengan jalan musyawarah. Apabila tidak terjadi kesepakatan antara pemerintah dengan pihak pemilik tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka menurut ketentuan lokasinya dipindahkan ketempat lain. Dalam pembebasan tanah yang perlu dipikirkan adalah pihak yang terkena pembebasan tanah, dalam hal ini
yang terkena pembebasan tanah diharapkan tidak mengalami kemunduran baik secara sosial
maupun ekonomi. Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No.55/1993 menentukan bahwa
“pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia
Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I”. 
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pembangunan pelebaran Jalan Ngaliyan
– Mijen dalam pengadaan tanahnya (pembebasan tanah) harus menggunakan
Panitia Pengadaan Tanah. Namun demikian pada kenyataannya pembebasan tanah tersebut tidak dilakukan oleh panitia yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dilaksanakan oleh Tim, yang hanya berdasarkan SK Walikotamadya Semarang pada saat itu dan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Semarang selaku pihak yang berwenang dibidang pertanahan.
Tim tersebut telah melakukan sosialisasi dengan warga mengenai pelebaran jalan tersebut, akan tetapi untuk seterusnya, mengenai keberadaan tim tersebut, dan tugasnya tidak diketahui oleh warga.
Berdasarkan hasil penelitiandari 100 responden yang terpilih, 60 orang (60%)
menjawab mereka sama sekali tidak pernah diajak musyawarah dan 40 orang
(40%) menjawab pernah diajak musyawarah untuk membicarakan nilai ganti
rugi.
Oleh karena penetapan ganti rugi cenderung sepihak, maka sejumlah warga
tidak mau datang lagi dalam pertemuan dengan tim berikutnya. Berdasarkan data hasil penelitian diketahui, bahwa ganti kerugian yang ditawarkan tidak berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), hanya sebesar Rp. 20.000,-/m2dibawah NJOP tanah pada saat itu sebesar Rp. 80.000,-/m2,sedangkan harga pasarannya mencapai Rp. 300.000,-/m2.
 Apabila dibandingkan dengan kondisi sekarang, maka ganti kerugian yang diberikan sangat jauh dibawah NJOP yaitu Rp. 500.000,-/m2, apalagi dengan harga pasaran yang mencapai Rp. 1.000.000,- sampai Rp. 3.500.000,-/m2
Ganti kerugian yang disepakati oleh Pemkot pada saat itu adalah Rp.20.000,-/m2 dengan rincian sebagai berikut:
Pemkot Semarang memberi nilai ganti kerugian Rp. 15.000,-/m2dan sebagian disuntikkan dana oleh pihak swasta, yaitu PT. Karya Deka Alam Lestari, yang diatasnamakan tali asih dari walikota sebesar Rp. 5000,-/m2, dan ditambah tanah pengganti yang berlokasi di Jatisari. Hal ini dilakukan karena jalan raya Ngaliyan – Mijen juga merupakan jalur yang menuju ke kawasan pengembangan perumahan Bukit Semarang Baru (BSB) yang dikelola PT. Karya Deka Alam Lestari selaku pihak pengembang dari kawasan tersebut. Jadi dalam hal ini pihak PT. Karya Deka Alam Lestari juga mempunyai kepentingan atas pelebaran jalan tersebut sebagai akses menuju kawasan perumahan yang dikembangkannya.
 Pemberian ganti kerugian tersebut hanya didasarkan pada Surat Perjanjian yang dibuat dibawah tangan antara pihak KAWULA dengan warga yang tanahnya terkena proyek tersebut, bahkan menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya pada saat penandatangan pengambilan uang ganti kerugian, besarnya ganti kerugian hanya ditulis dengan pensil sedangkan tulisan yang lain diketik dengan komputer. Hal tersebut mengindikasikan adanya kemungkinan penyimpangan besarnya pemberian ganti kerugian, antara nilai yang diberikan kepada warga dengan nilai sebenarnya sesuai dengan APBD Kotamadya Semarang pada saat itu.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan para pemilik tanah tidak mendapatkan ganti kerugian yang sama, tergantung “kedekatan”-nya dengan orang-orang yang dekat dengan Tim tersebut. Menurut Pasal 17 ayat (2) Keppres No.55/Tahun 1993 menyatakan bahwa dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh instansi pemerinatah yang memerlukan tanah. Keppres No.55/Tahun 1993 hanya berlaku bagi pengadaan tanah yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk kepentingan umum. Oleh karena itu konsinyasi hanya bisa diterapkan untuk pembayaran ganti kerugian untuk pengadaan tanah dilakukan oleh Instansi Pemerintah untuk kepentingan umum, dengan catatan memang telah ada kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membutuhkan tanah dan pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau benda-benda yang ada di atas tanah tersebut.
Hambatan dalam Masalah Pengandaan Tanah untuk Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen
1.    Hambatan yang datang dari Pemerintah, 
a. Kekurangan dana: 
• Berdasarkan hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya. 
• Terbatasnya dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Semarang dengan melalui APBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan nilai ganti kerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu.
b. Ganti rugi tanahnya belum selesai: 
• Warga yang belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian tanah sebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan, dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan.
2. Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak. Sehingga masih ada sebagian warga yang menolak/tidak mau mengambil uang ganti ruginya. Menurut warga mereka merasa dibohongi oleh pihak KAWULA yang menyepakati besarnya tanah pengganti sebesar 1:3, dalam kenyataannya janji tersebut tidak ditepati. Dari kedua hambatan tersebut, diketahui bahwa hambatan utama dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan raya Ngaliyan – Mijen adalah mengenai besarnya nilai ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah.
Sehingga ada beberapa warga, khususnya di Kelurahan Ngaliyan belum mengambil uang ganti kerugian ditambah tanah pengganti yang dititipkan di KAWULA. Pihak Pemkot mengatakan bahwa pelaksanaan pembebasan tanahnya sudah selesai karena ganti rugi sudah dibayarkan dengan dititipkan pada KAWULA. Tetapi dalam kenyataannya masih ada warga yang belum mau mengambil uang ganti rugi tersebut, sehingga pada saat pelaksanaan pembebasan tanah mereka terhalang oleh pihak/warga yang tidak mengambil uang ganti rugi.
Pada dasarnya warga bersedia tanahnya diambil untuk pelebaran jalan, karena warga juga akan merasakan dampak positifnya terhadap usaha dan kegiatan mereka sehari-hari, khususnya di bidang ekonomi, karena dengan adanya jalan yang luas, maka usaha mereka akan semakin maju, dengan demikian dapat meningkatkan tingkat perekonomian. Akan tetapi warga menginginkan besarnya ganti rugi sesuai dengan harga pasar pada umumnya, minimal seharga NJOP sesuai dengan Keppres No.55 Tahun 1993. Karena dalam kenyataannya besarnya ganti rugi ditetapkan sepihak oleh tim.

KESIMPULAN
1. Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen Semarang, yaitu: 
a) Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Ngaliyan – Mijen Semarang, Pemkot pada saat itu membentuk Tim melalui Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang tertanggal 2 Juni 1997 nomor 593/571. 
a. Pelaksanaan pembangunan pelebaran Jalan Raya Ngaliyan – Mijen proses musyawarahnya dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu kegiatan untuk pelebaran jalan serta menetapkan lebarnya jalan yang akan dikepras, dan pelaksanaan musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian yang dimulai pada tahun 1998. 
c) Rencana jalan yang dilebarkan dimulai dari pertigaan Jrakah sampai Kalimas (Cangkiran) dengan panjang jalan 8.825 meter. Pembebasan tanahnya telah mengepras 500 lebih kapling tanah milik warga di 7 kelurahan disepanjangjalan raya tersebut, dan jumlah warga yang tanahnya terkena proyekpelebaran jalan sebanyak ± 313 KK dengan status tanah Hak Milik. 
d) Pelaksanaan pelebaran jalan disetujui selebar 30 m, dengan perincian lebar jalan untuk jalan utama 24 m, lebar taman 4 m, lebar trotoar kanan kiri 1 m, berm ditiadakan, dan saluran air 1 m. 
a. Proses musyawarah untuk menetapkan ganti kerugian baru mendapat kesepakatan pada tahun 2000, setelah masuknya PT. Karya Deka Alam Lestari (pihak ketiga/investor). 
b. Pemberian ganti kerugian terhadap pelebaran jalan tersebut hanya didasarkan pada Surat Perjanjian yang dibuat dibawah tangan antara pihak tim dengan warga yang tanahnya terkena proyek tersebut, dan besarnya ganti kerugian tidak berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). 
i. Hambatan-hambatan yang timbul dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Di Ngaliyan – Mijen Semarang dan Upaya Penyelesaiannya.



a) Hambatan yang datang dari Pemerintah, 
(i). Kekurangan dana: 
• Berdasarkan hasil wawancara, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pelebaran jalan masih kurang dalam pelaksanaannya, akan tetapi ketika dikonfirmasi mengenai berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan dana yang masih kurang, pihak tersebut tidak mau memaparkannya.
• Terbatasnya dana yang disediakan oleh Pemerintah, dana Pemkot Semarang dengan melaluiAPBD, sehingga Pemkot tidak dapat memberikan nilai gantikerugian sesuai dengan yang diinginkan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan pelebaran jalan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan RDTK yang dibatasi oleh jangka waktu. 
(ii). Ganti rugi tanahnya belum selesai: 
• Warga yang belum menerima ganti rugi tanah, tetapi menginginkan penggantian tanahsebesar 1:3. dari hasil wawancara, sebenarnya warga yang belum menerima penggantian tanah tersebut, akan diberikan gantinya sebesar 1:3, akan tetapi setelah dipertimbangkan akan timbul masalah baru, karena warga yang telah menerima penggantian tanah hanya diberikan gantinya sebesar 1:1, sehingga dikhawatirkan akan adanya perbedaan antara para warga yang terkena proyek pelebaran jalan, dan akan membuat prosesnya berlarut-larut maka hal itu diurungkan. 
b) Hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek pelebaran jalan, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh Pemkot yang dianggap masih tidak layak, disamping itu warga merasa dibohongi oleh pihak KAWULA yang menyepakati besarnyatanah pengganti sebesar 1:3, dalam kenyataannyajanji tersebut tidak ditepati.Melihat kondisi yang demikian, Pemkot lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.



SARAN
1. Hendaknya dalam proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menggunakan dasar peraturan perundangan yang berlaku.
2. Pembentukan Panitia/Tim pengadaan tanah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. 
3. Pemberian ganti kerugian baik berupa uang maupun tanah setidaknya harus sesuai NJOP dan pelaksanaannya harus adil.
4. Dalam proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan warga yang terkena pembangunan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar